Selasa, 08 Desember 2009

Teori Akad Dalam Fikih Muamalah

Akad, yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitroh yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.

1. Pengertian Akad (Kontrak).

Akad dalam bahasa Arab berarti pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan. Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh para fukoha.

Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan (diazamkan) orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (irodah munfaridah) seperti wakaf, cerai dan sumpah atau yang memerlukan dua kehendak (irodatain) untuk mewujudkannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai. Dari pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan dengan akad yang dimengerti oleh para fukoha dan hukum-hukum perdata konvensional. Perbedaannya adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas mencakup kehendak tunggal dapat melazimkan suatu transaksi, sementara menurut undang-undang hukum perdata konvensional akad mesti melibatkan dua kehendak. Karena itu wilayah adad dalam pengertian umum jauh lebih luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus.

2. Rukun Akad.

Dalam pengertian para fukoha rukun adalah pokok sesuatu dan hakekatnya dan ia merupakan bagian yang sangat penting dari padanya meskipun berada di luarnya. Seperti ruku' dan sujud merupakan hakekat dan pokok sholat; keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakekat sholat. Dalam muamalah seperti ijab dan qobul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu aaqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qud alaih) dan shighotul aqd.

Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qobul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jual beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli : " Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual beli di sini qobul adalah ucapan si pembeli kepada si penjualan : " Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika ijab dan qobul ini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual).
Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu.

Ijab dan qobul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Dalam fikih muamalah ijab dan qobul ini adalah komponen dari shighotul aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau aaqidan ( pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.

Ada sebuah pertanyaan, " Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, shighot akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari aaqidan. Bagaimanakah kedudukan hukum jual beli saat ini yang tidak melibatkan shighot akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya aqd bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktek demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fukoha (madzhab Hanafi) membolehkan tidak saja dalam jual beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.

Sekalipun pada umumnya para fukoha menyepakati akad bit ta'athi dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk kawin (zuwaj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan kesempurnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak.

3. Orang yang menyelenggarakan akad (aaqidan)

Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz. Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.

Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian disebut awaaridh ahliyyah. Ada dua jenis awaaridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah. Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam muamalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal.

4. Barang dan Harganya (al-Ma'qud Alaih)

Barang dan harga dalam akad jual beli disyarakatkan sebagai berikut :
Pertama, barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi barang yang dijual belikan maupun harga yang dijadikan ukuran jual beli. Kedua, barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara syar'i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat transaksi tersebut diselenggarakan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dimiliki kecuali dalam akad salam. Barang yang dijual harus dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli. Jual beli yang tidak dapat mengantarkan barang kepada pembeli dianggap sebagai suatu transaksi yang tidak sah. Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan seluk beluknya. Begitu juga harga harus diketahui secara pasti untuk menghapuskan kemungkinan persengketaan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan harga. Kelima, dalam akad ini tidak diperbolehkan menambahkan persyaratan bahwa transaksi bersifat sementara. Misalnya si penjual mengatakan bahwa ia menjual mobilnya dengan harga sekian untuk jangka waktu sekian. Persyaratan ini batal karena pemindahan kepemilikian yang dicapai lewat akad bersifat langgeng dan tidak mengenal batas waktu. Begitu perpindahan kepemilikan terjadi, maka hak penggunaan dan pemanfaatan atas barang itu juga berpindah sepenuhnya dari penjual kepada si pembeli dan penjual tidak lagi memiliki hak apapun atas barang yang telah dijualnya.

5. Jenis-jenis Akad.

Ada banyak jenis akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara' atau tidak; dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain.

a. Akad Sah dan Tidak Sah.

Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik.

Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual beli bangkai, darah atau daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi.

Ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fasad) artinya sama. Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak (fasad) dengan batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya menjadi tiga macam yaitu akad sah, fasad dan batal.

Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fasad (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fasad. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighot akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi.

Adapun akad fasad, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara' seperti menjual suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fasad memiliki dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.

b. Dengan Melihat Penamaan

Dari segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan ghoiru musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh syara' seperti jual beli (buyu'), ijaroh, syirkah, hibah, kafalah, hawalah, wakalah, rohn dan lain-lain. Sedangkan akad ghoiru musamma akad yang belum diberi nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang dinamik. Jumlahnyapun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishna', baiul wafa' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyarakah) lain-lain.

c. Akad Aini dan Ghoiru Aini

Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak yang diberikan hak sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat digolongkan menjadi aini dan ghoiru aini. Akad aini adalah akad yang pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah, 'iaroh, wadiah, rohn dan qordh. Dalam akad-akad ini barang yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal.

Sedangkan ghoiru aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighot akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghoiru aini.

Teori Akad Dalam Fikih Muamalah

Akad, yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitroh yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.

1. Pengertian Akad (Kontrak).

Akad dalam bahasa Arab berarti pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan. Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh para fukoha.

Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan (diazamkan) orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (irodah munfaridah) seperti wakaf, cerai dan sumpah atau yang memerlukan dua kehendak (irodatain) untuk mewujudkannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai. Dari pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan dengan akad yang dimengerti oleh para fukoha dan hukum-hukum perdata konvensional. Perbedaannya adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas mencakup kehendak tunggal dapat melazimkan suatu transaksi, sementara menurut undang-undang hukum perdata konvensional akad mesti melibatkan dua kehendak. Karena itu wilayah adad dalam pengertian umum jauh lebih luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus.

2. Rukun Akad.

Dalam pengertian para fukoha rukun adalah pokok sesuatu dan hakekatnya dan ia merupakan bagian yang sangat penting dari padanya meskipun berada di luarnya. Seperti ruku' dan sujud merupakan hakekat dan pokok sholat; keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakekat sholat. Dalam muamalah seperti ijab dan qobul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu aaqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qud alaih) dan shighotul aqd.

Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qobul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jual beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli : " Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual beli di sini qobul adalah ucapan si pembeli kepada si penjualan : " Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika ijab dan qobul ini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual).
Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu.

Ijab dan qobul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Dalam fikih muamalah ijab dan qobul ini adalah komponen dari shighotul aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau aaqidan ( pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.

Ada sebuah pertanyaan, " Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, shighot akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari aaqidan. Bagaimanakah kedudukan hukum jual beli saat ini yang tidak melibatkan shighot akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya aqd bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktek demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fukoha (madzhab Hanafi) membolehkan tidak saja dalam jual beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.

Sekalipun pada umumnya para fukoha menyepakati akad bit ta'athi dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk kawin (zuwaj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan kesempurnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak.

3. Orang yang menyelenggarakan akad (aaqidan)

Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz. Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.

Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian disebut awaaridh ahliyyah. Ada dua jenis awaaridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah. Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam muamalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal.

4. Barang dan Harganya (al-Ma'qud Alaih)

Barang dan harga dalam akad jual beli disyarakatkan sebagai berikut :
Pertama, barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi barang yang dijual belikan maupun harga yang dijadikan ukuran jual beli. Kedua, barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara syar'i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat transaksi tersebut diselenggarakan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dimiliki kecuali dalam akad salam. Barang yang dijual harus dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli. Jual beli yang tidak dapat mengantarkan barang kepada pembeli dianggap sebagai suatu transaksi yang tidak sah. Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan seluk beluknya. Begitu juga harga harus diketahui secara pasti untuk menghapuskan kemungkinan persengketaan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan harga. Kelima, dalam akad ini tidak diperbolehkan menambahkan persyaratan bahwa transaksi bersifat sementara. Misalnya si penjual mengatakan bahwa ia menjual mobilnya dengan harga sekian untuk jangka waktu sekian. Persyaratan ini batal karena pemindahan kepemilikian yang dicapai lewat akad bersifat langgeng dan tidak mengenal batas waktu. Begitu perpindahan kepemilikan terjadi, maka hak penggunaan dan pemanfaatan atas barang itu juga berpindah sepenuhnya dari penjual kepada si pembeli dan penjual tidak lagi memiliki hak apapun atas barang yang telah dijualnya.

5. Jenis-jenis Akad.

Ada banyak jenis akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara' atau tidak; dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain.

a. Akad Sah dan Tidak Sah.

Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik.

Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual beli bangkai, darah atau daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi.

Ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fasad) artinya sama. Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak (fasad) dengan batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya menjadi tiga macam yaitu akad sah, fasad dan batal.

Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fasad (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fasad. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighot akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi.

Adapun akad fasad, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara' seperti menjual suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fasad memiliki dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.

b. Dengan Melihat Penamaan

Dari segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan ghoiru musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh syara' seperti jual beli (buyu'), ijaroh, syirkah, hibah, kafalah, hawalah, wakalah, rohn dan lain-lain. Sedangkan akad ghoiru musamma akad yang belum diberi nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang dinamik. Jumlahnyapun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishna', baiul wafa' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyarakah) lain-lain.

c. Akad Aini dan Ghoiru Aini

Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak yang diberikan hak sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat digolongkan menjadi aini dan ghoiru aini. Akad aini adalah akad yang pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah, 'iaroh, wadiah, rohn dan qordh. Dalam akad-akad ini barang yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal.

Sedangkan ghoiru aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighot akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghoiru aini.

NIKAH MUT’AH DAN NIKAH MUHALLIL

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Secara lughawi nikah berarti ad-damm wal-jam’ (penggabungan dan pengumpulan) atau al-wath’u (persetubuhan). Secara istilahi nikah adalah ikatan perjanjian (‘aqd) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk mensyahkan istimta’ atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Selain ibadah, nikah merupakan wujud sikap ta’awun atau kerjasama antara individu dalam pendirian lembaga keluarga dan sarana reproduksi. (www.nu.or.id)
Namun di samping itu nikah telah menjadi kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka, sehingga ketika sebuah pasangan suami istri merasa kurang puas terhadap pasangannya, yang dilakukan adalah mencari pelampiasan di luar. Namun hal itu tidk mudah, karena kerasnya hukum agama terhadap zina, dan pelarangan terhadap prostitusi. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah orang-orang tersebut, sampai akhirnya muncul tren kawin kontrak.
KAWIN KONTRAK, sebuah film komedi romantis yang mengangkat kisah nyata di sebuah desa di jawa barat. Kisah ini memang nyata di mana, para lelaki mencari istri dengan bantuan calo yang mengantarkannya, kemudian ada penghulu yang menikahkannya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan tempo yang telah ditentukan.
Kawin kontrak ini pun makin terkenal bahkan setiap musim liburan pada bulan juni-juli di kawasan puncak bogor, sudah pasti menjadi langganan turis khususnya dari timur tengah untuk menikmati perempuan-perempuan sunda dengan cara kawin kontrak (nikah mut’ah). Dan jika sang suami senang, istri akan di ajak ke negaranya. (jawa pos: 28/06/2009).
Terlepas hukum boleh dan tidaknya, kawin kontrak telah menjadi trend bagi para pejabat kita saat ini yang ingin punya istri muda tanpa sepengetahuan istri tua. Tidak hanya pejabat, para TKI dan juga pekerja-pekerja yang jauh dari suami/istri, untuk memenuhi hasrat mereka, biasanya dilakukan akad kawin kontrak.
Juga mengenai berita perceraian selebriti yang sering muncul di infotainment, atau yang kemudian rujuk kembali, tanpa mau tahu apakah rujuknya masih dalam masa iddah sang istri ataukah telah melebihi masa iddah tanpa melalui muhallil.
Fenomena-fenomena memang sudah sering kita jumpai. Dan berbagai perbedaa pendapat pun terjadi, baik dari sisi hak asasi manusia yang digembor-gemborkan aktifis perempuan maupun dari sisi hukum agamanya. Biarpun perbedaan pendapat terjadi toh fenomena-fenomena di atas terus terjadi dan terus berkembang.
Untuk itu makalah ini mencoba untuk membahas tentang nikan mut’ah/kawin kontrak dan nikah muhallil. Dengan segala keterbatasannya, penulis mencoba mengunggkapkan beberapa hal mengenai nikah mut’ah dan nikah muhallil.
B. Rumusan masalah
Makalah ini akan membahas beberapa hal yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah di bawah ini:
1. Bagaimana pengertian nikah mut’ah dan nikah muhallil?
2. Bagaimana hukum-hukum nikah mut’ah dan nikah muhallil?
3. Apa sajakah hal-hal yang berkaitan dengan nikah mut’ah dan nikah muhallil?

BAB II

NIKAH MUT’AH

A. Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu. (Fathul Bari 9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169). (Nikah Mut’ah, Zina Berkedok. arsipmoslem.wordpress.com)
Nikah mut’ah disebut juga zawaj muaqqat (kawin sementara) dan zawaj munqaihl (kawin kontrak), yaitu seorang laki-laki menyelenggarakan akad nikah dengan seorang perempuan untuk jangka waktu sehari, atau sepekan, atau sebulan batasan-batasan waktu lainnya yang telah diketahui. (Macam-Macam Nikah Yang Bathil. www.nu.or.id)
B. Hukum Nikah Mut’ah
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya:
Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404).
Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117).
Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314. (Nikah Mut’ah, Zina Berkedok. arsipmoslem.wordpress.com)
Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang rusak atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain, dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi).
Dan ini adalah perkawinan yang sudah disepakati akan keharamannya dan jika seorang mengadakan akad nikah semacam ini berarti ia terjerumus pada perbuatan yang bathil (lihat Fiqhus Sunnah II:35).
Dari Sabrah ra, ia berkata, ”Kami pernah diperintah oleh Rasulullah saw melakukan kawin mut’ah pada tahun penaklukkan ketika kami masuk mekkah kemudian kami tidak keluar (meninggal Mekkah) sehingga, kami dilarang kembali dari kawin mut’ah.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:812 dan Muslim II:1023 no:1406).
Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah dengan dasar surat An-Nisa’ ayat 24:
… فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡہُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً۬‌ۚ ….(٢٤(
“Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. (“Ujrah” yang umumnya diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak).”
Selain itu dasar penghalalannya adalah hadis Nabi Muhammd SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa para sahabat pernah diperkenankan untuk menikahi perempuan-perempuan dengan sistem kontrak waktu.
Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal).
Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, Fatawi Syar’iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, dan As-Syarwani ‘alat Tuhfah juz Vll hlm. 224.
Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. (Al-Umm V/71)
Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mekenai pernikahan dengan akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut dengan nikah mut’ah. (Fatawi Syar’iyyah II/7)
Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.”
Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut’ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi. (Beberapa Perkawinan Yang Bathil: www.ayongaji.com)




BAB III
NIKAH MUHALLIL

A. Pengertian Nikah Muhallil
Nikah Muhallil ialah seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang sudah ditalak tiga setelah berakhir masa iddahnya, kemudian dia mentalaknya lagi supaya mejadi halal kawin lagi dengan mantan suaminya yang pertama.
Atau pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan si wanita tadi untuk dikawin kembali oleh bekas suaminya. (kamushukum.com)

B. Hukum Nikah Muhallil
Praktik pernikahan ini termasuk dosa besar dan tergolong perbuatan keji, yang tidak diperbolehkan keras, baik kedua laki-laki yang bersangkuntan itu menentukan syarat ketika akad nikah atau mereka berdua sepakat sebelum terjadi akad nikah untuk segera mentalaknya kembali, atau salah satu dari keduanya berniat di dalam hatinya untuk mencerainya lagi. Pelaku pernikahan ini dila’nat oleh Rasulullah saw sebagaimana sabdanya:
Dari Ali r.a. berkata, ”Rasulullah saw. melaknat muhallil (yaitu orang yang menikahi seorang wanita dan menceraikannya dengan niatan supaya wanita itu menjadi halal kembali bagi suami yang pertama.) dan Muhallallahu (yakni orang yang meminta muhallil melakukan pernikahan tersebut mantan suami).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:5101, ’Aunul Ba’bud VI:88 no:6062, Tirmidzi II:294 no:1128 dan Ibnu Majah I: 622 no:1935).
Dari ‘Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kujelaskan kepada kalian tentang kambing hutan pinjaman?” Para sahabat menjawab, “Mau, ya Rasulullah,” Lanjut Beliau “Yaitu muhallil, Allah telah mela’nat muhallil dan muhallallah,” (Hasan: Shahih: Ibnu Majah no:1572, Ibnu Majah I:623 no:1936 dan Mustadrak Hakim II:198 serta Baihaqi VII:208).
Dari Umar bin Nafi’ dari bapaknya bahwa ia bertutur, “Telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu Umar r.a. lalu bertanya kepadanya perihal seorang suami yang menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya. Kemudian saudara laki-laki menikahinya, tanpa perintah darinya agar wanita itu menjadi halal kembali bagi saudaranya (yaitu suami pertama). Lalu apakah wanita itu halal bagi suami yang pertama itu? Maka jawab Ibnu Umar, ”Tidak (halal), kecuali nikah yang didasari cinta yang tulus. Dahulu, pada masa Rasulullah saw. kami menganggap pernikahan seperti ini perzinahan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil VI:311, Mustadrak Hakim II:199 dan Baihaqi VII:208).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 567. (Beberapa Perkawinan Yang Bathil: www.ayongaji.com)


BAB IV
HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN NIKAH MUT’AH


A. Perjanjian Kontrak
Kontrak adalah perjanjian formal dengan syarat-syarat tertentu antara dua pihak atau lebih. (Kamusonline.com)
Di antara syarat sah pernikahan ialah :
Bentuk ijab dan qabul pernikahan hendaklah dibuat secara muabbadah (selamanya) dan bukanlah dalam bentuk muaqqatah (bertempoh). Sekiranya pernikahan itu (dibuat dengan syarat) bertempoh maka batallah pernikahan tersebut. (ruj Kitab Feqh Islami Wa Adillatuhu Dr Wahbah Az Zuhaili jilid.9 ms 6551)
Nikah kontrak termasuk di dalam pernikahan muaqqat (bertempo): yaitu sesorang lelaki bernikah dengan wanita dalam tempoh sepuluh hari atau sebulan atau setahun.Perkahwinan ini adalah batil kerana ianya termasuk apa yang dikatakan nikah Mut'ah
Nikah mut'ah pula adalah sesuatu persetujuan atau persepakatan antara lelaki dan perempuan untuk tamatta' (menikmati) salah satu dari kedua-duanya dengan tempo yang tertentu kemudian ditinggalkan tanpa talaq. Pernikahan mut'ah adalah batil menurut kesepakatan jumhur sahabat, tabien, dan a'immah mazahib selain dari imamiah.(ruj Kitab Al- Usrah Al-Muslimah Fi Al-Alam Al-Muasir Dr Wahbah Az Zuhaili ms 65)
عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح المتعة يوم خيبروعن لحوم الحمر الأهلية الأنسية
Artinya: Dari Saidina Ali bin Abi Thalib r.a bahwa Rasulullah SAW telah melarang nikah mut'ah dengan wanita pada perang Khaibar dan makan himar ahliyah. (HR Imam Al Bukhari ruj.kitab Umdatul Ahkam).
Rasulullah s.a.w bersabda :
يا أيها الناس،إني كنت أذنت لكم في الاستمتاع بالنساء،وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة
Artinya : "Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamuistimta dengan wanita (nikah mut'ah). Ketahuilah bahwa Allah SWT telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
B. Perbedaan nikah mut'ah dan muaqqat adalah pada lafaz tamatta' bagi nikah mut'ah dan lafaz zawaj (nikah) bagi nikah muaqqat.
Contoh lafaz bagi nikah mut'ah.
تمتعت بكِ يوما بدينار،فقالت قبلت المتعة
Aku bertamatta' (menikmati) dengan kamu untuk satu hari dengan satu dinar maka perempuan itu menjawab :Aku terima mut'ah tersebut.
Contoh lafaz bagi nikah muaqqat atau kontrak.
تزوجتك مدة كذا،كعشرة أيام مثلا على مهر قدره كذا فتقول:قبلت
Aku menikahi kamu dengan tempo sekian, seperti sepuluh hari sebagai contoh (dan) dengan kadar mahar sekian., kemudian perempuan itu menjawab Aku terima.
(ruj. kitab Al Mufassal Fi Al-Ahkam Al-Mar'ah Wa Bait Al-Muslim Dr. Karim Zaidan jilid 6 ms 162)
C. Bagaimana sekiranya pernikahan itu disyaratkan tempo umur salah satu suami atau istri?
Sebagai contoh: Aku menikah dengan kamu dengan tempo umur kamu atau, aku menikah dengan kamu dengan tempo umurku. Kemudian, perempuan tersebut menjawab :Aku terima.
D. Adakah pernikahan ini batal karena diiringi dengan tempo?
Al Imam Khatib As-Syirbini rahimahullah di dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj dan Al-Imam Al-Ramli rahimahullah dalam kitabnya Nihayah Al-Muhtaj. Kedua-dua kitab syarah Minhaj At-Thalibin karangan Imam Nawawi rahimahullah ini menyebutkan bahwa, batal pernikahan sekiranya nikah dengan (syarat) tempo umur suami atau umur isterinya.
Di dalam mazhab As-syafiyah telah mengatakan dengan jelas dalam bab jual beli. Sekiranya seseorang itu mengatakan: Aku menjual barang ini kepada kamu dengan tempoh hayat kamu.Jual beli seperti ini tidak sah.Maka (dalam) pernikahan lebih utama. (kalaulah jual beli dengan tempoh hayat sesorang sahaja batal apatah lagi nikah)
(rujuk Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 4 ms 239 dan Kitab Nihayah Al-Muhtaj jilid 6 ms 215)
E. Bagaimana sekiranya seseorang lelaki yang menikah dengan niat akan talak perempuan tersebut tanpa menentukan waktu akan talak perempuan tersebut?
Mungkin beberapa kemungkinan yang boleh kita buat dari persoalan di atas.
-Sekiranya seseorang lelaki berniat akan mentalak isterinya setelah menikah, kemudian disampaikan niatnya kepada calon isteri tersebut, atau pada walinya lalu dipersetujui. Maka jelaslah disini,perkahwinan tersebut adalah perkahwinan muaqqat (bertempo) yang tidak diketahui. Ini bermakna perkahwinan tersebut adalah batal.
-Manakala sekiranya lelaki tersebut berniat akan mentalak isterinya setelah berkahwin tetapi hanya memendamkan niatnya tanpa memberitahukan bakal isteri atau walinya, mungkin perkahwinan yang ingin dilaksanakan itu kerana dendam atau sesuatu kepentingan peribadi maka nikahnya adalah sah tetapi berdosa.
Mazhab Maliki Hanbali dan Syafie mengatakan :sekiranya seseorang lelaki menikahi perempuan tanpa syarat tetapi di dalam hatinya sudah berniat untuk mentalak perempuan tersebut setelah tempoh sebulan (perkahwinan),atau setelah sempurna keinginannya di negara tersebut maka nikah tersebut adalah sah.(ruj Kitab Al- Usrah Al-Muslimah Fi Al-Alam Al-Muasir Dr Wahbah Az Zuhaili ms 65/ Kitab Al Mughni)
F. Bagaimana nasab anak hasil daripada hubungan perkahwinan kontrak?
Penentuan nikah kontrak sama ada batil atau fasid memberi kesan pada nasab anak. Apa yang saya dapati, kebanyakan ulama mengakatan nikah Muaqqat adalah batil. Menurut syekh Al-Fadhil Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-Banjari Al-Makki hafizahullah adalah dinasabkan kepada ibunya sebab nikah itu batil, tidak sah, hubungan mereka itu zina. Nikah muhallil, nikah kontrak,nikah syagar ini contoh nikah fasid. Fasid fi haqiqatil amri sementara pasangan tidak tahu- seperti dinikahkan oleh wali atau saksi yang fasik sedangkan mereka tidak tahu. Kalau mereka tahu maka mereka tidak boleh berkumpul -kalau kontrak, mereka tahu dan semua tahu hukumnya batil. (Nikah Kontrak: scene-r.blogspot.com)
Wallahu A'lam.


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nikah mut’ah adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti satu bulan, dua bulan atau dalam satuan waktu tertentu.
2. Nikah Muhallil adalah pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan si wanita tadi untuk dikawin kembali oleh bekas suaminya.
3. Hukum Nikah Mut’ah secara umum, ulama’ mengatakannya itu haram. Dengan mengingat dalil-dalil hukum dan beberapa hal yang terjadi pasca penikahan mut’ah itu.
4. Hukum nikah muhallil juga termasuk hukum nikah yang batal dan termasuk dosa besar, karena sebelum menikah sang muhallil telah berniat menceraikan istrinya kembali. Sungguh perbuatan yang keji.
5. Anak hasil perkawinan kontrak (nikah mut’ah) adalah termasuk anak zina, berarti anak tersebut tidak punya ayah dan hanya harus dinasabkan kepada ibunya.
B. Saran-Saran
1. Islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu pernikahan yang bersifat abadi dan kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya”
2. Nikah muhallil itu perbuatan yang keji, karena mempermainkan perasaan perempuan. Maka hati-hatilah dengan kata-kata talaq, kalau tidak ingin menyesal.

Senin, 07 Desember 2009